Monday, February 13, 2012

Kelahiran Positivisme:Para Filsuf Pasca-Revolusi dan Auguste Comte-Suatu Pengantar

Situasi intelektual di Prancis abad ke-19 sangat berbeda dari situsai Pencerahan abad ke-18. Kalau pada zaman Pencerahan terdapat kecenderungan yang kuat untuk melawan agama, di abad ke-19 para filsuf Prancis mulai menghargai kembali peranan dimensi rohani manusia. Dalam hal ini mereka banyak menyerap pengaruh cita-cita spiritual idealisme Jerman yang berkembang pada abad yang sama. Sebuah aliran terpenting pada abad ini adalah positivisme, dengan tokoh Auguste Comte. Aliran ini menjadi cikal bakal ilmu pengetahuan tentang masyarakat atau sosiologi. Sekilas tampak perbedaan mencolok antara idealisme dan positivisme. Idealisme mendukung metafisika, sedangkan positivisme menolak metafisika. Kalau dipelajari lebih jauh, akan jelas bahwa kedua-duanya sama-sama spejulatif. Di balik kedok “filsafat positif”, aliran yang anti metafisika itu tidak jauh dari metafisika. Dengan demikian perbedaan keduanya bersifat ideologis. Sementara idealisme Jerman dengan sifat konservatif berusaha memodifikasi metafisika tradisional dengan wajah rasional, positivisme – dengan semangat sekularistis progresif hasil Pencerahan – berusaha merekonstruksi sebuah sistem pengetahuan ilmiah yang dapat menjelaskan realitas sebagai keseluruhan (ini pretensi metafisis). Di balik perbedaan itu diam-diam keduanya sepakat untuk menemukan sebuah sistem integritas yang bersifat rohaniah yang dapat mengutuhkan kembali kebudayaan dan masyarakat yang mengalami krisis akibat modernisasi.
Sebelum kita memperbincangkan positivisme Comte, lebih dulu kita tilik secara umum situasi intelektual Prancis pasca-Revolusi 1789 yang ikut merintis kelahiran positivisme.
1. Situasi Filsafat Prancis Pasca Revolusi
Revolusi Prancis memang diwarnai banyak teror dan pertumpahan darah, tetapi sebuah cita-cita lama kebudayaan Barat dicapai dalam Revolusi ini, yakni: penegasan akan kebebasan manusia. Dipandang dari sudut modernis, Revolusi memperluas Reformasi religius pada abad ke-16 ke bidang sosial dan politik. Cita-cita modernitas yang sudah mulai didasarkan pada zaman Renaisans seakan-akan terwujud secara sosial-politis dam Revolusi ini. Realitas yang sama ternyata bisa dinilai dari dua sudut pandang yang bertolak belakang. Demikianlah juga, di Prancis muncul para pemikir yang disebut “Tradisionalis”. Dari sudut pandang tradisionalis, Revolusi merupakan ancaman serius terhadap integrasi sosial dan dasar-dasar religius bagi moralitas manusia. Meski berlainan, baik kaum pendukung maupun pengkritik Revolusi sebenarnya sama-sama produk Pencerahan.
Kaum Tradisionalis
Di antara kaum Tradisionalis, terdapat tokoh-tokoh masyhur seperti: De Maistre, De Bonald, Chateaubriand, Lamennais. Count Joseph De Maistre (1753-1821) adalah seorang tokoh konservatif yang sangat getol menyerang konsep kemajuan. Dalam Soirees de St. Petersbourg, ia antara lain berpendapat bahwa ilmu pengetahuan hanya sahih untuk menjelaskan fenomena-fenomena fisik, dan bukan untuk menjelaskan agama. Yang bisa menciptakan tatanan dan kemajuan bukan ilmu, melainkan iman, lebih khusus lagi iman Katolik. Disini ia ingin menemukan sebuah dasar religius yang hilang karena modernisasi. Atas dasar anggapan ini dia menganggap Reformasi sebagai kejahatan terbesar umat manusia. Dia juga mengecam pedas para filsuf Pencerahan, khususnya Voltaire. De Bonald (1754-1840), dalam Primitive Legislation, lebih jauh lagi berusaha menemukan sebuah “basis religius” yang dia temukan dalam bahasa. Bahasa adalah “fakta primitif”. Bahasa lalu dilihatnya sebagai sarana transmisi pewahyuan Ilahi yang pada gilirannya mendasari masyarakat dan manusia. Chateaubriand (1768-1848) juga terhitung diantara kaum Tradisionalis. Dalam Genie du Christianisme, dia membela agama Kristen dengan pertimbangan-pertimbangan estetis. Agama Kristen itu benar karena indah dan iman Kristen itu menghibur. De Lamennais (1782-1854) juga sejalan dalam membela agama Kristen. Dia berpendapat bahwa agama adalah basis moral masyarakat, dan tanpanya masyarakat akan hancur.
Mereka yang Disebut “Les Ideologue”
Para pendukung Revolusi yang paling menonjol adalah apa yang menamakan diri “les ideologues” (kaum ideolog). Julukan ini diambil dari buku salah seorang tokohnya, Destutt de Tracy (1754-1836). Elements d’ideologie. Istilah ini belum memiliki makna peyoratif seperti sekarang. “Ideologi” dimengerti sebagai studi-studi mengenai asal-usul ide-ide yang terungkap dalam bahasa dan penalaran. Bersama dengan rekan-rekannya, De Volney (1757-1820) dan Cabanis (1757-1808), de Tracy meneruskan gagasan-gagasan Pencerahan, khususnya dalam pikiran Condillac. Akan tetapi, mereka tak setuju dengan Condillac, karena dia mempelajari ide-ide dengan cara mereduksi segala proses mental (perasaan, memori, memutuskan, menghendaki) kepada sensasi-sensasi. Proses mental itu bersifat dasariah dan reduksi atasnya hanya dibuat-buat saja. Manusia sebenarnya aktif dan tidak pasif dalam menghasilkan pengetahuannya. Dari kemampuan menghasilkan putusan terbentuklah gramatika dan logika. Jadi, bagi mereka aktifitas dan kehendak itu penting bagi pengetahuan, lebih dari sekedar sensasi-sensasi. Dari kemampuan menghendaki dan merasakan lahirlah etika. Kaum ideolog ini lalu mempengaruhi pemikiran Maine de Biran (1766-1824). Filsuf ini juga menekankan metode introspeksi. Dia mengganti diktum Cartesian “Saya berpikir, maka ada” menjadi “Saya merasa, maka ada”.
Ide-Ide Sosialistis dan Re-Organisasi Sosial
Ada kelompok intelektual lain yang juga mendukung Revolusi. Jika kaum ideolog mendukung dengan gagasan-gagasan yang “metafisis”, kelompok ini ingin memberi saran praktis untuk pembaruan masyarakat. Mereka disebut “kaum sosialis”. Menurut mereka ini, Revolusi sudah sukses menghasilkan kebebasan (liberte), namun persamaan (egalite) dan persaudaraan (fraternite) harus diwujudkan melalui teori sosial. Mereka adalah Fourier, Saint-Simon dan Proudhon.
Francois Marie Charles Fourier (1772-1837) mengikuti Rousseau dengan pandangannya bahwa kebudayaan borjuis adalah cacat kemanusiaan, karena di dalamnya berkuasa egoisme dan kepentingan diri yang akan menghancurkan masyarakt. Masyarakat borjuis diciptakan dari represi dan nafsu, sehingga juga melenyapkan dua nafsu penting untuk kohesi sosial; cinta dan kekeluargaan. Akibatnya, harmoni masyarakat terancam runtuh. Saran yang diajukan Fourier adalah reorganisasi masyarakat yang memungkinkan penyaluran nafsu-nafsu sosial. Dia lalu memberi contoh organisasi kelompok masyarakat yang disebut “phalanx”. Yang diutopikan dengan “phalanx” disini adalah sebuah kelompok dengan anggota antara 1500-2000 orang dengan berbagai kemampuan. Dalam kelompok ini setiap individu bebas memilih pekerjaan yang disukainya atau meninggalkan yang tak disukainya. Di dalamnya ada kompetisi, tapi harmoni tetap dominan, sehingga tak akan ada perang. Pandangan ini adalah utopianisme.
Claude-Henri de Saint-Simon (1760-1825) berpendapat bahwa filsafat Pencerahan abad ke-18 sudah menghancurkan sistem religius dan feodalisme. Karena itu filsafat abad ke-19 harus menciptakan sebuah sistem integrasi baru yang cocok dengan masyarakat ilmiah dan industrial. Ide pentingnya di sini adalah ‘reorganisasi’ masyarakat menurut kaidah-kaidah ilmiah yang sudah disuburkan oleh Pencerahan. Menurutnya, ilmu pengetahuanlah yang menghancurkan kekuasaan Gereja dan menghasilkan sekularisasi, maka untuk reorganisasi sosial ilmu-ilmu alam harus diperluas ke bidang-bidang sosial kemanusiaan. Dia lalu mengusulkan sebuah ilmu baru, yaitu “fisiologi sosial”, sebuah perluasan dari fisika Newton pada masyarakat. Perluasan ini menurutnya, akan menyelesaikan transisi dari sistem integrasi intelektual tradisional ke sistem integrasi ilmiah modern. Meskipun masyarakat abad ke-19 berada dalam situasi transisi, Saint-Simon optimis bahwa masyarakat industri akan menjadi sebuah masyarakat yang penuh kedamaian dan haroni asal diorganisasikan secara ilmiah.
Meskipun mendukung Revolusi, sikap Fourier dan Saint-Simon sebenarnya senada dengan kaum Tradisionalis. Kedua pihak sama-sama mengusulkan sebuah reorganisasi sosial, hanya bentuk integrasinya berbeda: kaum Tradisionalis kembali pada institusi-institusi tradisional, dan kedua sosialis ini memandang ke depan ke institusi-institusi masyarakat industrial. Kecenderungan untuk menciptakan integrasi baru ditolak oleh Piere-Joseph Proudhon (1809-1865), sehingga dia dikenal sebagai “anarkis”. Dia menolak sebuah organisasi sosial dengan pemerintahan sentral. Peranan negara harus dihapus dalam ekonomi. Dalam bukunya System of Economics Contradictions, dia menegaskan hak milik sebagai “pencurian” yang secara spontan menciptakan masyarakat, tapi sekaligus juga dapat membentengi masyarakat dari Negara. Hak milik melindungi otonomi dan kesamaan. Menurutnya, Revolusi berhasil menciptakan kebebasan politis, namun gagal memberi kebebasan ekonomis. Karena itu sesuadah Revolusi, organisasi politik harus dialihkan ke organisasi ekonomis. Organisasi ekonomis itu tidak dilakukan oleh Negara, melainkan melalui kontrak-kontrak bebas oleh individu-individu swasta. Istilah ‘anarki’ baginya lalu dimengerti sebagai penghapusan peranan Negara dalam ekonomi. Dia membayangkan masyarakat dapat menyelaraskan kepentingan individu dan kepentingan umum dan harmoni itu tidak perlu dijaga oleh Negara, sebab masyarakat industri sendiri akan memeliharanya dengan kontrak-kontrak bebas.
Marx kemudian hari menilai Proudhon dan kaum sosialis Prancis sebagai “utopis”. Meski demikian, pemikiran mereka, khususnya Saint-Simon, mempersiapkan kelahiran sebuah aliran penting yang dirintis oleh Comte, yaitu positivisme.
1. Bapak Positivisme: Auguste Comte (1789-1857)
Auguste Comte adalah figur yang paling representatif untuk positivisme sehingga dia dijuluki Bapak Positivisme. Pada tahun terjadinya Revolusi, filsuf ini dilahirkan di kota Montpellier dari sebuah keluarga bangsawan yang beragama Katolik. Dalam usia 25 tahun, dia studi di Ecole Polytecnique di Paris dan sesudah dua tahun di sana dia mempelajari pikiran-pikiran kaum ideolog, tapi juga Hume dan Condorcet. Saint-Simon menerimanya sebagai sekretarisnya, dan sulit dipungkiri bahwa pemikiran Saint-Simon mempengaruhi perkembangan intelektual Comte. Mereka cocok dengan pandangan bahwa reorganisasi masyarakat bisa dilakukan dengan bantuan ilmu pengetahuan baru tentang perilaku manusia dan masyarakatnya. Pada tahun 1826, Comte sudah menemukan proyek filosofisnya sendiri dan mulai mengajarkannya di luar pendidikan resmi. Untuk selanjutnya, dia juga tak pernah menduduki jabatan resmi di kampus. Dia juga sempat sakit keras karena kerja keras, dan perkawinannya gagal. Bahkan dia sempat mencoba bunuh diri, tapi gagal. Adikaryanya yang paling termasyhur adalah Cours de Philosophie Positive dalam enam jilid. Dalam tulisan-tulisannya dia mengusahakan sebuah sintesis segala ilmu pengetahuan dengan semangat positivisme, tetapi usaha itu tidak rampung, sebab pada tahun 1857 dia meninggal dunia. Ketika ia meninggal, para muridnya dalam kelompok yang didirikannya, Societe Positiviste menghormatinya sebagai orang kudus positivisme, yakni imam agung kemanusiaan.
Istilah Positivisme
Istilah “positivisme” diperkenalkan oleh Comte. Istilah itu berasal dari kata “positif”. Dalam prakata Cours de Philosophie Positive, dia mulai memakai istilah “filsafat positif” dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten di sepanjang bukunya. Dengan “filsafat” dia mengartikan sebagai “sistem umum tentang konsep-konsep manusia”, sedangkan “ positif diartikannya sebagai “teori yang bertujuan untuk ‘penyusunan fakta-fakta yang teramati’ ”. dengan kata lain, “positif” sama dengan “faktual”, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme menegaskan bahwa hendaknya tidak melampaui fakta-fakta. Dalam penegasan itu lalu jelas yang ditolak positivisme, yakni metafisika. Penolakan metafisika disini bersifat definitif. Dalam kritisismenya, Immanuel Kant masih menerima adanya “das Ding an sich”, obyek yang tidak bisa diselidiki pengetahuan ilmiah. Comte menolak sama sekali bentuk pengetahuan lain, seperti etika, teologi, seni, yang melampaui fenomena yang teramati. Baginya, objek adalah yang faktual. Satu-satunya bentuk pengetahuan yang sahih mengenai kenyataan hanyalah ilmu pengetahuan.
Fakta dimengerti sebagai “fenomena yang dapat diamati”, maka sebenarnya positivisme terkait erat dengan empirisme. Akan tetapi, sementara empirisme masih menerima adanya pengalaman subjektif yang bersifat rohani, positivisme menolaknya sama sekali. Yang dianggap sebagai pengetahuan sejati hanyalah pengalaman objektif yang bersifat lahiriah, yang bisa diuji secara indrawi. Karena itu, positivisme adalah ahli waris empirisme yang sudah diradikalkan dalam Pencerahan Prancis.
Perkembangan Sejarah Manusia Melalui Tiga Tahap
Sejak abad ke-17, dan meruncing pada abad ke-18, perkembangan ilmu-ilmu alam dengan model fisika Newton mempengaruhi pemikiran filosofis. Di atas sudah kita singgung bahwa kehancuran tatanan feodal dan Gereja tradisional, dan juga sistem metafisika, membuat para pemikir abad ke-19 cenderung menemukan sistem integrasi baru. Salah satu caranya adalah membuat sebuah rekonstruksi historis tentang sistem pengetahuan manusia melalui tahap-tahap sehingga secara reflektif jelas kesatuannya dalam setiap tahap. Asumsi pokoknya adalah bahwa perkembangan pengetahuan, seperti yang tampil dalam perkembangan ilmu-ilmu alam, berjalan progresif, niscaya, dan linear. Filsuf Prancis abad ke-18 Condercet dan Turgot, sudah mencoba rekonstruksi macam itu, dan di abad ke-19, Saint-Simon juga membuat. Rekonstruksi macam itu menemukan bentuknya yang paling komprehensif dalam filsafat Comte.
Dalam Cours de Philosophie Positive, Comte menjelaskan bahwa munculnya ilmu-ilmu alam tak bisa dipahami secara terlepas dari sejarah perkembangan pengetahuan umat manusia dari abad ke abad. Sejarah pengetahuan itu berkembang melalui tiga tahap yang ia sebut “tahap teologis”, “tahap metafisis”, dan “tahap positif”. Ketiga tahap itu dipahami Comte sebagai tahap-tahap perkembangan mental umat manusia sebagai suatu keseluruhan, dan menurut Comte, juga bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan individu dari masa kanak-kanak, memalui masa remaja, ke masa dewasa. Baiklah kita ikuti tahap demi tahap.
Dalam tahap teologis, menurut Comte, umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa-peristiwa alam dan menemukannya dalam kekuatan-kekuatan adimanusiawi. Kekuatan-kekuatan ini, entah disebut dewa atau Allah, dibayangkan memiliki kehendak atau rasio yang melampaui manusia. Zaman ini lalu dibagi menjadi tiga sub-bagian. Pada sub-tahap yang paling primitif dan kekanak-kanakan, yaitu tahap fetisisme atau animisme, manusia menganggap objek-objek fisik itu berjiwa, berkehendak, berhasrat. Pada tahap berikutnya, politeisme, kekuatan-kekuatan alam itu diproyeksikan dalam rupa dewa-dewa. Akhirnya, pada tahap monoteisme, dewa-dewa dipadukan menjadi satu kekuatan adimanusiawi yang disebut Allah.
Dalam tahap metafisis, umat manusia berkembang dalam pengetahuannya seperti seseorang melangkah pada masa remajanya. Kekuatan adimanusiawi dalam tahap sebelumnya itu sekarang diubah menjadi abstraksi-abstraksi metafisis. Misalnya: konsep “ether”, “causa”, dst. Dengan demikian, peralihan ke tahap ini diselesaikan sesudah seluruh konsep mengenai kekuatan-kekuatan adimanusiawi diubah menjadi konsep-konsep abstrak mengenai Alam secara keseluruhan. Tidak ada lagi Allah dan dewa-dewa; yang ada adalah entitas-entitas abstrak yang metafisis.
Akhirnya, umat manusia mencapai kedewasaan mentalnya dalam tahap positif. Pada zaman ini umat manusia tidak lagi menjelaskan sebab-sebab di luar fakta-fakta yang teramati. Pikiran hanya memusatkan diri pada yang faktual yang sebenarnya bekerja menurut hukum-hukum umum, misalnya hukum gravitasi. Baru pada tahap inilah ilmu pengetahuan berkembang penuh. Ilmu pengetahuan tidak hanya melukiskan yang real, tapi juga bersifat pasti dan berguna.
Comte juga mencoba menghubungkan tahap-tahap mental tersebut dengan bentuk-bentuk organisasi sosial. Tahap teologis dihubungkannya dengan absolutisme, misalnya otoritas absolut raja dan golongan militer. Pada tahap metafisis, absolutisme raja dihancurkan dan diganti dengan kepercayaan akan hak-hak abstrak rakyat dan hukum. Akhirnya, pada tahap positif, organisasi masyarakat industri menjadi pusat perhatian. Ekonomi menjadi primadona, dan kekuasaan elite intelektual muncul. Mereka ini menduduki peran organisator sosial, dan bagi Comte, sosiologi merupakan ilmu baru yang dapat mereka pakai untuk mengorganisasikan masyarakat industri.
Rekonstruksi historis Comte ini di kemudian hari mulai ditanggapi secara kritis. Kebanyakan kritikus mempersoalkan kenetralan rekonstruksi itu. Comte memang mahir dalam menafsirkan sejarah Eropa dari abad ke abad dengan sebuah pretensi untuk menjadi objektif. Akan tetapi, kalau diperhatikan lebih jauh akan jelas bahwa dia membaca sejarah Eropa dari sudut pandang tertentu, yaitu sudut pandang positivistis. Pertama, dia menilai sejarah masa lalu dengan kriteria pengetahuan ilmiah yang baginya adalah satu-satunya kebenaran yang dituju segala bentuk pengetahuan. Kedua, seperti Hegel, dia juga ingin memandang filsafat positif sebagai tujuan sejarah, sehingga dia tidak siap menerima kemungkinan adanya tahap post-positivisme. Demikianlah di samping munculnya neo positivisme Lingkungan Wina, banyak filsuf abad ke-20 mengambil sikap kritis terhadap positivisme.
Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Sudah kita ikuti bagaimana Comte melukiskan kemajuan pengetahuan manusia. Kemajuan itu bagaimanapun harus ditunjukkan pada perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan konkret. Karena itu Comte juga berusaha mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang ada. Menurut Comte, semua ilmu pengetahuan memusatkan diri pada kenyataan faktual, dan karena kenyataan faktual itu berbeda-beda, harus ada perbedaaan sudut pandang dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, terjadi pengkhususan dalam ilmu pengetahuan. Untuk menetapkan ilmu-ilmu khusus, Comte berusaha menemukan ilmu-ilmu yang bersifat fundamental, artinya dari ilmu-ilmu itu diturunkan ilmu-ilmu lain yang bersifat terapan. Dalam adikaryanya itu, Comte menyebutkan enam ilmu fundamental, yakni: matematika, astronomi, fisika, kimia, fisiologi, biologi, dan fisika sosial (atau sosiologi).
Keenam ilmu dasar itu diurutkan sedemikian rupa sehingga mulai dari yang paling abstrak ke yang paling konkret, yang lebih , kemudian tergantung pada yang terdahulu. Misalnya, matematika lebih abstrak dari astronomi, dan astronomi tergantung pada matematika. Fisiologi dan biologi menyelidiki hukum-hukum umum yang mengatur makhluk hidup, dan keduanya tergantung pada kimia yang menyelidiki perubahan zat, tapi juga lebih abstrak daripada sosiologi dan diandaikan oleh sosiologi. Sebagai ilmu pengetahuan terakhir, menurut Comte, sosiologi baru berkembang sesudah ilmu-ilmu lain menjadi matang. Sebaliknya sebagai pangkal, matematika bagi Comte adalah model metode ilmiah bagi ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi baru dalam sosiologi, menurut Comte, ilmu-ilmu mencapai tahap positifnya, yakni: secara penuh memakai metode ilmiah untuk menyelidiki fakta yang paling konkret, yakni: perilaku sosial manusia. Dalam hal ini dia mengklaim dirinya sebagai orang yang membawa ilmu pengetahuan ke tahap positifnya dalam sosiologi (istilah ‘sosiologi’ ini dari Comte).
Dalam hierarki ilmu-ilmu di atas kita tidak melihat psikologi, dan etika. Dalam anggapannya, psikologi yang ilmiah itu mustahil, sebab psikologi adalah refleksi manusia atas rohnya sendiri, dan roh ini bukan fakta positif, melainkan pengalaman subjektif. Pada zaman Comte psikologi lebih dipahami sebagai psikologi introspektif. Dia belum melihat perkembangan psikologi menjadi psikologi eksperimental. Lalu, bagaimana dengan etika? Etika dalam arti ilmu normatif tentang apa yang seharusnya ada jelas melampaui yang faktual. Dalam arti ini etika tidak bisa masuk dalam hierarkinya. Akan tetapi, Comte lalu memperlakukan etika sebagai ilmu tambahan untuk merumuskan hukum-hukum yang memungkinkan kita meramalkan dan merencanakan susunan sosial. Dalam arti ini, etika menjadi tambahan untuk sosiologi.
Sosiologi Sebagai Titik Kulminasi Perkembangan Ilmiah
Sudah disinggung bahwa sosiologi adalah puncak perkembangan ilmu. Pernyataan ini mengandung dua arti. Secara historis, sosiologi adalah ilmu pengetahuan terakhir yang muncul. Karena muncul dalam tahap positif, sosiologi ini sudah bersih dari macam-macam kepercayaan teologis dan filosofis. Dia menjadi ilmu otonom yang paling matang dalam menjelaskan realitas. Secara metodologis, sosiologi juga berada di puncak, sebab ia menyelidiki manusia dalam kehidupan sosialnya beserta aneka kebutuhannya. Artinya, segala pendekatan ilmiah mengabdi sosiologi untuk menjelaskan objeknya. Dengan anggapan ini, Comte sama sekali tidak memaksudkan bahwa ilmu-ilmu lain lebur dalam sosiologi, melainkan bahwa sosiologi dapat mengorganisasikan mereka untuk berfungsi menjelaskan objek kajiannya.
Selanjutnya Comte membagi sosiologi menjadi dua, yaitu: statika sosial dan dinamika sosial. Masyarakat adalah kenyataan yang tertata tetapi juga yang berubah. Statika sosial mempelajari tatanan sosial itu dengan segala hukum yang mengaturnya. Misalnya soal pembagian kerja, koordinasi kepentingan umum, solidaritas sosial. Dinamika sosial mempelajari huku-hukum perubahan dan kemajuan sosial. Bagian ini erat kaitannya dengan statika sosial, sebab perubahan tanpa tatanan melahirkan anarki, dan tatanan tanpa perubahan adalah stagnasi. Kemajuan, bagi Comte, melekat pada tatanan sosial. Soalnya sekarang bagaimana memprediksi perubahan. Dinamika sosial berusaha menemukan jawabannya. Dengan demikian, buat Comte, sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang memiliki ‘maksud praktis’. Maksudnya, dengan mengetahui tatanan (statika sosial), sosiologi dapat mengarahkan perkembangan masyarakat ke sebuah susunan yang lebih baik (dinamika sosial). Termasyhur semboyan Comte dalam hal ini: “Voir pour prevoir” (Melihat untuk meramalkan). Dengan kata lain, ide tentang ‘rekayasa sosial’ sudah terkandung dalam filsafatnya, dan ini erat kaitannya dengan tema re-organisasi sosial masyarakat industri yang sudah muncul dalam pikiran Saint-Simon.
Agama Kemanusiaan atau Agama Positivitas
Filsafat positif Comte pada akhirnya memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat industri diorganisasikan. Di atas sudah disinggung bahwa menurut Comte, para organisator dalam masyarakat industri adalah elite intelektual, yakni para filsuf positivistis dan para ilmuwan. Mereka ini dianggapnya sebagai pemilik pengetahuan sejati. Di sini jelas bahwa Comte tidak mendukung demokrasi. Massa-rakyat pada dasarnya tidak tahu apa-apa, maka kehendak mereka didasari ketidaktahuan itu. Bahkan Comte melihat manfaat dalam sistem paternalistis Gereja abad pertengahan. Perana elite rohaniwan Gereja itu dalam masyarakat positif digantikan oleh elite positivistis. Artinya, mereka ini memegang peranan absolut sebagai organisator dan pengontrol masyarakat. Dan memang Comte lalu melukiskan kedudukan elite baru ini dengan kosa kata agama Katolik Roma. Misalnya, elite itu dilukiskan sebagai imam-imam agung ilmu pengetahuan yang menggantikan posisi paus dan uskup dalam Gereja.
Masyarakat positif Comte pada gilirannya menjadi masyarakat agama baru, dan memang Comte sendiri terang-terangan ingin mendirikan agama baru yang disebutnya “agama kemanusiaan” atau “agama positivistis”. Dalam agama baru itu, moralitas tertinggi adalah cinta dan pengabdian pada kemanusiaan. Allah abad pertengahan diganti dengan “le Grand Etre” (Ada Agung), yakni: Kemanusiaan (dengan huruf besar). Dia juga bahkan menyusun sebuah kalender untuk merayakan “para santo Kemanusiaan”, membayangkan tempat-tempat ibadah, patung-patung, sakramen-sakramen sosial, dst.; semua ini paralel dengan unsur-unsur ritual agama Katolik.
Metafisika Implisit dalam Positivisme
Dari filsafat Comte ini kita dapat menyaksikan sebuah gejala yang ganjil dari pikiran manusia. Pertama-tama kita menyaksikan bahwa metode positivistis memang ampuh untuk menghancurkan metafisika dan teologi tradisional. Dengan mengklaim bahwa pengetahuan yang benar itu hanya mengenai yang faktual, positivisme seolah-olah sudah menumbangkan metafisika. Kalau kita periksa lebih jauh akan kelihatan, klaim bahwa pengetahuan yang benar hanyalah mengenai yang faktual pada gilirannya akan menjadi radikal dalam klaim bahwa kenyataan itu adalah yang faktual. Radikalisasi macam ini memang tampak dalam rekonstruksi historis Comte, bahwa tahap positif merupakan tahap paling final untuk memahami kenyataan. Kenyataan adalah yang faktual. Dengan klaim implisit ini Comte sebenarnya melakukan sebuah ‘metafisika implisit mengenai yang faktual’. Klaim implisit itu lalu malah menjadi lebih jelas lagi dalam ajaran agama positivitasnya tentang “le Grand Etre”. Istilah bagi Allah baru ini adalah sebuah abstraksi atas manusia-manusia individual, lalu seluruh realitas. Kalau sedang tidak berteologi, sekurang-kurangnya dengan ajaran ini Comte diam-diam bermetafisika. Jadi, dia surut kembali ke tahap metafisika yang dikritiknya sendiri.
Bibliografi:
1. Copleston, Frederick, A History of Philosophy (Late Medieval and Renaissance Philosophy), Image Books, New York 1953
1. Helferich, Christoph, Geschicte der Philosophie. Von den Anfangen bis zur gegenwart und Oestliches Denken, DTV, Munchen, 1992
http://siddharthasutrisno.multiply.com/journal/item/18